Adab-Adab Buang Hajat
KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
D. Adab-Adab Buang Hajat
1.Disunnahkan bagi orang yang hendak memasuki al-khalaa’ (kamar kecil/WC) agar membaca:
بِسْمِ اللهِ، اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ.
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan.”
Do’a ini berdasarkan hadits ‘Ali Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سِتْرٌ مَا بَيْنَ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْخَلاَءَ أَنْ يَقُوْلَ: بِسْمِ اللهِ.
“Penghalang antara jin dan aurat anak Adam jika salah seorang dari kalian memasuki al khalaa’ adalah ia mengucapkan, “Bismillah”.”[1]
Juga hadits Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ قَالَ: اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ.
“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak masuk ke kamar kecil, beliau mengucapkan, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan”.[2]
2. Disunnahkan jika keluar darinya mengucapkan:
غُفْرَانَكَ.
“(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu.”
Berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْخَلاَءِ قَالَ: غُفْرَانَكَ.
“Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kamar kecil, beliau mengucapkan, ‘(Ya Allah, aku mengharap) ampunan-Mu’.” [3]
3. Disunnahkan mendahulukan kaki kiri ketika masuk, dan kaki kanan ketika keluar
Karena adanya sunnah yang memerintah agar mendahulukan yang kanan untuk hal mulia, dan mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. Banyak riwayat yang menunjukkan hal tersebut secara global. [4]
4. Jika di tempat terbuka, maka disunnahkan menjauh hingga tidak terlihat
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَأْتِي الْبَرَازَ حَتَّى يَتَغَيَّبَ فَلاَ يَرَى.
“Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak buang hajat di lapangan terbuka melainkan bersembunyi hingga tidak terlihat.” [5]
5. Disunnahkan tidak mengangkat pakaian kecuali setelah dekat dengan tanah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ الْحَاجَةَ لاَ يَرْفَعُ ثَوْبَهُ حَتَّى يَدْنُوَ مِنَ اْلأَرْضِ.
“Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat pakaiannya kecuali setelah dekat dengan tanah.” [6]
Tidak boleh menghadap dan membelakangi kiblat, baik di lapangan terbuka maupun dalam bangunan.
Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوْهَا، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوْا.
“Jika kalian hendak buang hajat, janganlah menghadap dan membelakangi kiblat. Tapi, menghadaplah ke timur atau ke barat.” [7]
Abu Ayyub berkata, “Kami datang ke Syam, kami dapati banyak WC yang dibangun menghadap Kiblat. Kami pun miring darinya dan beristighfar kepada Allah Ta’ala.” [8]
6. Dilarang buang hajat di jalan yang dilalui manusia dan tempat berteduh mereka.
Dari Abu Hurairah Raddhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِتَّقُوا اللاَّعِنَيْنِ. قَالُوْا: وَمَا اللاَّعِنَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيْقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ.
“Jauhilah dua perkara yang mengundang laknat. Mereka bertanya, ‘Apakah dua perkara yang mengundang laknat itu, ya Rasulullah?.’” Beliau berkata, “Orang yang buang hajat di jalan orang-orang atau di tempat berteduh mereka.” [9]
7. Dimakruhkan jika seseorang kencing di tempat mandinya.
Dari Humaid al-Himyari, dia berkata, “Aku menjumpai seorang yang telah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Abu Hurairah menyertai beliau. Dia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمْتَشِطَ أَحَدُنَا كُلَّ يَوْمٍ أَوْ يَبُوْلَ فِيْ مُغْتَسَلِهِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang salah seorang dari kami bersisir setiap hari dan kencing di tempat mandinya.” [10]
8. Dilarang kencing di air yang tidak mengalir
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ.
“Beliau melarang kencing di air yang menggenang.” [11]
9. Diperbolehkan kencing sambil berdiri, tapi duduk (jongkok) lebih utama
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا، فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ: ادْنُهُ، فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ، فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat pembuangan sampah sebuah kaum lalu kencing sambil berdiri, dan aku pun menjauh. Beliau lantas berkata, ‘Mendekatlah.’ Lalu aku mendekat hingga aku berdiri dekat kaki beliau. Beliau kemudian berwudhu dan membasuh bagian atas kedua khuf (sepatu panjang) beliau.” [12]
Kita katakan bahwa duduk lebih utama karena begitulah kebanyakan perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ، مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ جَالِسًا.
“Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian mempercayainya. Beliau tidak pernah kencing melainkan dengan duduk.” [13]
Perkataan ‘Aisyah tidak menafikan apa yang dibawakan oleh Khudzaifah. Karena ‘Aisyah hanya mengabarkan apa yang dia lihat. Dan Khudzaifah juga mengabarkan apa yang dia lihat. Sebagaimana diketahui (dalam kaidah) bahwa yang menetapkan lebih diutamakan daripada yang menafikan. Karena pada yang menetapkan itu terdapat ilmu yang lebih.
10. Diwajibkan bersuci dari kencing
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melalui dua kubur, lalu bersabda:
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ، أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بَيْنَ النَّاسِ بِالنَّمِيْمَةِ.
“Sesungguhnya mereka berdua diadzab. Mereka tidak diadzab karena dosa besar. Salah seorang di antara mereka diadzab karena tidak bersuci dari kencingnya. Sedang yang lain karena suka menggunjing di antara manusia.” [14]
11. Tidak boleh menyentuh kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing. Dan tidak menggunakannya saat bercebok dengan air
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَمُسُّ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتَنْجِ بِيَمِيْنِهِ.
“Jika salah seorang di antara kalian kencing, janganlah ia menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya. Dan jangan pula ia cebok dengan tangan kanannya.” [15]
12. Diperbolehkan bersuci dengan air, dan batu, atau yang serupa dengan batu, namun air lebih utama.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ، فَأَحْمِلُ أَنَا وَغُلاَمٌ نَحْوِي إِدَاوَةً مِنْ مَاءٍ وَعَنَزَةً، فَيَسْتَنْجِي بِالْمَاءِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasuki WC. Lalu aku dan anak lain yang seusia denganku membawakan beliau setimba air dan sebuah tombak kecil. Beliau lantas bersuci dengan air.” [16]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَلْيَسْتَطِبْ بِهَا فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ.
“Jika salah seorang di antara kalian hendak buang hajat, maka hendaklah membawa tiga buah batu. Dan hendaklah ia bersuci dengannya, karena itu mencukupinya.” [17]
13. Tidak boleh menggunakan kurang dari tiga batu
Dari Salman al-Farisi Radhiyallahu anhu, dikatakan kepadanya, “Nabi kalian telah mengajari kalian segala hal hingga masalah buang air besar?” Dia menjawab:
أَجَلْ، لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ، أَوْ نَسْتَنْجِيْ بِالْيَمِيْنِ، أَوْ نَسْتَنْجِيْ بِأَقَلِّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ نَسْتَنْجِيْ بِرَجِيْعٍ، أَوْ بِعِظَمٍ.
“Benar. Beliau melarang kami menghadap kiblat ketika kencing atau buang hajat, bersuci dengan tangan kanan, bersuci dengan kurang dari tiga buah batu, dan bersuci dengan kotoran atau tulang.” [18]
14. Tidak boleh bersuci dengan tulang atau kotoran
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَمَسَّحَ بِعِظَمٍ أَوْ بِبَعْرٍ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersuci dengan tulang atau kotoran.” [19]
Bab Bejana
Boleh menggunakan semua bejana selain bejana emas dan perak. Diharamkan menggunakan keduanya untuk makan dan minum. Namun tidak diharamkan menggunakan keduanya selain untuk makan dan minum.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَرِيْرَ وَالدِّيْبَاجَ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي اْلآخِرَةِ.
“Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak. Dan jangan pula mengenakan sutera. Karena semua itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.” [20]
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلَّذِي يَشْرَبُ فِيْ إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارُ جَهَنَّمَ.
“Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya api Jahannam bergejolak dalam perutnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. [21]
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
إِنَّ الَّذِي يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ…
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum dari bejana perak dan emas…”
Muslim berkata, “Tidak seorang pun pada sebuah hadits menyebutkan lafazh: “makan dan emas” kecuali dalam hadits Ibnu Mushir.”
Al-Albani berkata, “Dari segi ilmu riwayat, tambahan ini syadz sekalipun maknanya benar dari segi ilmu diraayah. Karena “makan dan emas” lebih berat dan berbahaya daripada “minum dan perak” sebagaimana yang tampak jelas.” [22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3611)], Sunan at-Tirmidzi (II/59/ no. 603) ini adalah lafazhnya. Sunan Ibni Majah (I/109 no. 297), dengan lafazh: إِذَا دَخَلَ الْكَنِيْفَ. “Jika memasuki al kaniif”
Sebagai ganti dari “jika memasuki al-khalaa’.”
[2]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/242 no. 142)], Shahiih Muslim (I/283 no. 375), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/21 no. 4), Sunan Ibni Majah (I/109 no. 298), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 6), dan Sunan an-Nasa-i (I/20).
[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 4714)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/52 no. 30), Sunan at-Tirmidzi (I/7 no. 7), Sunan Ibni Majah (I/ 110 no. 300).
[4]. As-Sailul Jarraar (I/64).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 268)], Sunan Ibni Majah (I/121 no. 335), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/19 no. 2), dengan lafazh yang semisalnya.
[6]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 4652)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/31 no. 14), dan Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 14), dari hadits Anas Radhiyallahu anhu.
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 109)], dan Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 7).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/498 no. 394)], Shahiih Muslim (I/224 no. 264), Sunan at-Tirmidzi (I/8 no. 8).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 110)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/47 no. 25), dan Shahiih Muslim (I/226 no. 269), dengan lafazh darinya: اَللَّعَّانَيْنِ، قَالُوْا: وَمَا اللَّعَّانَانِ؟
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 232)], Sunan an-Nasa-i (I/130), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/50 no. 28).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6814)], Shahiih Muslim (I/235 no. 281), dan Sunan an-Nasa-i (I/34).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/228 no. 273)], Sunan at-Tirmidzi (I/11 no. 13), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/329 no. 225), Sunan an-Nasa-i (I/19), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/44 no. 23), dan Sunan Ibni Majah (I/ 111 no. 305).
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 29)], Sunan an-Nasa-i (I/26), dan Sunan at-Tirmidzi (I/10 no. 12) dengan lafazh darinya: “قَاعِدًا”.
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/317 no. 216), Shahiih Muslim (I/240 no. 292), Sunan at-Tirmidzi (I/47 no. 70), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/40 no. 20), dan Sunan an-Nasa-i (I/28).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 250)], Sunan Ibni Majah (I/113 no. 310), ini adalah lafazh darinya. Diriwayatkan pula dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/254 no. 154), Shahiih Muslim (I/225 no. 267), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/53 no. 31), Sunan at-Tirmidzi (I/12 no. 15), Sunan an-Nasa-i (I/25) secara ringkas maupun panjang.
[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/252 no. 152)], Shahiih Muslim (I/227 no. 271), Sunan an-Nasa-i (I/42), di dalam riwayatnya tidak disebutkan kata “’Anazah”.
[17]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 43)], Sunan an-Nasa-i (I/42), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/61 no. 40).
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 255)], Shahiih Muslim (I/223 no. 262), Sunan at-Tirmidzi (I/13 no. 16), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/24/7), Sunan Ibni Majah (I/115/316), dan Sunan an-Nasa-i (I/38).
[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6827)], Shahiih Muslim (I/224 no. 263), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/60 no. 38).
[20]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/96/5633), Shahiih Muslim (III/1637 no. 2067)], Sunan at-Tirmidzi (III/199 no. 1939), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (X/189 no. 3705), Sunan Ibni Majah (II/1130 no. 3414), tanpa mencantumkan larangan memakai sutera, dan Sunan an-Nasa-i (VIII/198).
[21]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/96 no. 5634)], Shahiih Muslim (III/1634 no. 2065), dan Sunan Ibni Majah (II/1130 no. 3413).
[22]. Irwaa’ul Ghaliil (I/69).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/795-adab-adab-buang-hajat.html